Minggu, 10 Juni 2012

PERANAN AGAMA DALAM PEMBANGUNAN IPTEK NASIONAL

Posted by Vivih Ismayanti | 0 komentar
Oleh:
Arief Furchan

Pendahuluan
    Peluncuran dan terbang perdana pesawat N-250 yang diberi nama Gatotkaca pada tanggal 10 Agustus 1995 merupakan tonggak penting dalam sejarah bangsa Indonesia.  Pesawat ini adalah pesawat terbang pertama yang dibuat oleh putra-putri Indonesia, mulai dari rancang bangun sampai ke perakitannya.  Kebanggaan akan prestasi itulah yang membuat pemerintah, melalui Keputusan Presiden RI no. 71 tahun 1995, menetapkan tanggal 10 Agustus sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.  Keinginan untuk berpartisipasi dalam pengembangan iptek nasional inilah, barangkali, yang melatar-belakangi diselenggarakannya seminar oleh IAIN Sunan Ampel pada hari ini.

    Judul yang diberikan panitia kepada saya, yang juga menjadi tema Seminar ini, memberi kesan bahwa, dalam hubungan dua variabel ini (agama dan iptek nasional), iptek nasional menjadi fokus utama dan agama sebagai penunjangnya.  Mungkin di antara peserta Seminar ini ada yang tidak setuju dengan penempatan posisi seperti itu dan menginginkan agar agama ditempatkan pada posisi fokus dalam kaitannya dengan iptek.  Keinginan semacam itu adalah wajar dan sah, namun mengingat seminar ini dikaitkan dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang pertama, maka wajarlah kalau pada seminar kali ini yang menjadi fokus perhatian adalah masalah ipteknya.  Mengapa iptek itu dikaitkan dengan agama?  Barangkali, hal itu karena yang menyelenggarakan seminar ini adalah IAIN, yang bidang garapannya adalah agama.
    Untuk membahas topik ini, saya ingin mengajak peserta seminar ini untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:
  1)    Bagaimanakah posisi iptek dalam pembangunan nasional?
  2)    Apa dampak iptek dan globalisasi pada pembangunan bangsa?
  3)    Bagaimana sikap kita terhadap globalisasi itu?
  4)    Bagaimana peranan agama yang diharapkan dalam pembangunan iptek nasional?
  5)    Apakah harapan itu telah terwujud?

Posisi Iptek dalam Pembangunan Nasional
    Memasuki Pembangunan Jangka Panjang ke II, bangsa Indonesia makin menyadari akan pentingnya peran iptek bagi keberhasilan program pembangunan bangsanya.  Hal ini tampak nyata dengan dimasukkannya iptek sebagai salah satu asas pembangunan pada GBHN 1993-19982.  Sepuluh tahun sebelumnya, iptek belum dimasukkan sebagai asas pembangunan walau bukan berarti tidak penting.  Secara umum GBHN 1993-1998 itu juga mengakui bahwa selama PJP I, "pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil memajukan tingkat kecerdasan masyarakat, mengembangkan kemampuan bangsa serta ikut mendorong proses pembaharuan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. ..." (Bab III, A. 8.).
    Iptek juga telah menjadi salah satu bidang pembangunan dalam PJP II ini yang sasarannya adalah "tercapainya kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa yang diperlukan untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera ..." (Bab III, E. 4.).
    Dalam arah PJP II, juga disebutkan bahwa
    "pembangunan iptek memegang peranan penting serta akan sangat mempengaruhi perkembangan dalam masa PJP II.  Penguasaan iptek akan mempengaruhi keberhasilan membangun masyarakat maju dan mandiri.  Pembangunan iptek diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaannya dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. ..." (Bab III, F. 15.).

    Kutipan-kutipan dari GBHN di atas menunjukkan bagaimana posisi pembangunan iptek dalam kerangka Pembangunan Nasional Tahap II.  Dapat disimpulkan bahwa pada PJP II, ini bangsa Indonesia makin menyadari betapa pentingnya iptek itu bagi pembangunan nasional.  Bahkan dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan nasional akan dipengaruhi oleh penguasaan bangsa ini atas iptek itu.  Kalau kita dapat menguasai iptek dengan baik, maka akan makin berhasillah pembangunan kita sedangkan kalau penguasaan iptek kita rendah, maka pembangunan nasional kita pun akan kurang berhasil.
   Dalam kebijakan PELITA VI, dinyatakan bahwa iptek diperlukan di hampir semua sektor pembangunan: industri, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, transportasi, dan bioteknologi (Bab IV, F.)

Dampak Iptek dan Globalisasi pada Pembangunan Bangsa
    Seperti juga pada bidang lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai dampak positif dan negatif.   Penilaian positif maupun negatif ini, tentu saja, bersifat subyektif, tergantung kepada siapa yang menilainya.  Yang dinilai negatif oleh bangsa Indonesia belum tentu juga dinilai negatif oleh bangsa Amerika, misalnya.
    Dampak positif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dirasakan, misalnya, dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi.  Ditemukannya teknologi pesawat terbang telah membuat manusia dapat pergi ke seluruh dunia dalam waktu singkat.  Perjalanan haji yang dulu dilakukan selama beberapa minggu melalui laut kini, dengan makin lancarnya transportasi udara, dapat dilakukan hanya dalam waktu delapan jam saja.  Kemajuan di bidang televisi satelit telah memungkinkan kita melihat Olimpiade Atlanta langsung tanpa harus keluar rumah.  Penemuan telepon genggam telah memungkinkan kita untuk menghubungi seseorang di mana saja ia berada atau dari mana saja kita berada.  Kemajuan di bidang penyimpanan data telah memungkinkan kita memiliki seluruh jilid Ensiklopedia Britanica dalam satu keping Compact Disk yang beratnya kurang dari satu ons.  Kemajuan di bidang komputer telah menciptakan jaringan internet yang memungkinkan kita mendapatkan informasi dari perpustakaan di seluruh dunia tanpa harus keluar dari kamar.  Kemajuan di bidang komunikasi juga telah membuat perdagangan internasional menjadi semakin mudah dan cepat. Sekarang ini, lewat bursa saham, orang dapat dengan mudah memiliki perusahaan di negara lain.
    Singkat kata, kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi ini telah membuat dunia terasa kecil dan batas antar negara menjadi hilang.  Inilah yang disebut sebagai globalisasi, suatu proses di mana orang tidak lagi berfikir hanya sebagai warga kampung, kota, atau negara, melainkan juga sebagai warga dunia.
    Dari sisi positifnya, proses ini membuat orang tidak lagi hanya berwawasan lokal.  Dalam usahanya memecahkan persoalan, ia akan melihat ke seluruh dunia guna menemukan solusi.  Dalam mencari pekerjaan atau ilmu pun, ia tidak lagi membatasi diri pada pekerjaan atau lembaga pendidikan di kampungnya, kotanya, propinsinya, atau negaranya saja. Seluruh permukaan bumi ini dapat menjadi kemungkinan tempat ia bekerja atau mencari ilmu.
    Dari sudut jati diri bangsa, proses ini dapat dianggap membawa dampak negatif.  Hal ini karena inovasi-inovasi di bidang iptek itu kebanyakan terjadi di negara lain yang mempunyai nilai-nilai sosial, politik, dan budaya yang belum tentu sama dengan nilai bangsa kita.  Kendati teknologinya itu sendiri dapat dianggap sebagai netral atau bebas nilai, penerapan dan pembawa ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak dapat dikatakan selalu bebas nilai.  Sebagai contoh, kemajuan teknologi parabola telah memungkinkan kita melihat siaran televisi Perancis tanpa ada sensor.  Adegan seks dan pamer dada wanita, yang di RCTI tidak mungkin keluar, dapat dilihat anak-anak kita tanpa terpotong gunting sensor lewat parabola itu.  Banjirnya film asing di TV nasional (yang terpaksa diputar karena produksi nasional belum ada dan harganya lebih murah daripada memproduksi sendiri) juga dapat mempengaruhi nilai budaya para pemirsanya.  Telenovela dan film Barat yang amat populer di TV swasta kita, secara tidak terasa, dapat mempengaruhi para pemirsanya bahwa perselingkuhan dalam kehidupan suami istri itu adalah hal yang biasa, bahwa kekerasan merupakan salah satu pemecahan masalah.  Film detektif bahkan dapat menjadi 'guru' bagi para maling.
    Globalisasi cara berfikir, yang menjadi salah satu dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dapat membuat orang tidak lagi mengacu pada nilai-nilai tradisional bangsanya belaka.  Kemudahan memperoleh informasi akan membuat ia dapat mempelajari nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan bangsa lain, baik yang menyangkut nilai sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.  Sebagai bangsa yang sedang membangun jati-dirinya, proses globalisasi ini jelas merupakan tantangan yang harus diatasi dalam upaya pembentukan manusia Indonesia yang dicita-citakan.
    Hal ini tampaknya juga disadari oleh para wakil rakyat yang menyusun GBHN 1993-1998.  Mengenai dampak negatif globalisasi bagi pembangunan nasional kita, GBHN menyatakan:
    "Perkembangan, perubahan, dan gejolak internasional pada akhir Pembangunan Jangka Panjang Pertama ditandai oleh gejala baru, yaitu globalisasi yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan nasional di masa yang akan datang. ... Tantangan di bidang ekonomi ... adalah munculnya pengelompokan antar-negara yang cenderung meningkatkan proteksionisme dan diskriminasi pasar yang dapat menghambat pemasaran hasil produksi dalam negeri dan mendorong persaingan yang tidak sehat.  Ancaman di bidang politik dan pertahanan keamanan adalah kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap ideologi Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional, khususnya persatuan dan kesatuan bangsa yang dapat mengganggu kelancaran jalannya pembangunan nasional.  Ancaman di bidang sosial budaya adalah masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai lujur budaya bangsa." (Bab IV, A. 2.)

Sikap terhadap Globalisasi
    Pada dasarnya sikap orang terhadap masalah globalisasi ini dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) lari dari kenyataan dan bersembunyi atau menutup diri dari arus globalisasi itu; (2) menghindar atau menganggap bahwa globalisasi itu tidak ada; (3) menghadapi persoalan dengan berani.  Pilihan pertama dilakukan apabila orang tersebut merasa lemah dan tidak kuat untuk menanggulangi dampak negatif globalisasi itu.  Dalam mempertimbangkan dampak positif dan negatif kemajuan iptek dan globalisasi, ia melihat bahwa 'mudharat' globalisasi tersebut lebih besar daripada 'manfaatnya'.  Akibatnya, ia menolak kehadiran kemajuan iptek tersebut dan tidak mau bersentuhan dengannya.  Dalam kasus bangsa, pemerintah menutup masuknya informasi dari luar tanpa pandang bulu karena takut kalau-kalau rakyatnya akan terpengaruh oleh nilai-nilai dari luar yang mungkin akan berdampak negatif.
    Pilihan ke dua dilakukan bila orang tersebut merasa bingung.  Di satu fihak, ia mengetahui dampak positifnya kemajuan teknologi komunikasi itu tetapi, di lain fihak, ia juga mengetahui dampak negatif dari globalisasi tersebut.  Ia tidak dapat memutuskan apakah akan merangkul ataukah menolak kemajuan teknologi yang berdampak globalisasi itu.  Akibatnya, ia membiarkan saja kemajuan teknologi itu melanda bangsanya dan berpura-pura yakin, atau berharap, bahwa globalisasi itu tidak membawa dampak negatif bagi masyarakatnya.
    Pilihan ke tiga dilakukan oleh orang yang tidak bingung.  Ia menyadari akan dampak positif dan negatif dari kemajuan iptek yang masuk ke negaranya, termasuk dampak globalisasi masyarakatnya.  Berbeda dengan pemilih skenario ke dua, ia dengan seksama memilah-milah mana dampak positif dari kemajuan iptek dan globalisasi itu bagi dirinya dan mana dampak negatifnya.  Dengan mengetahui di bidang mana kemajuan iptek dan globalisasi itu akan membawa dampak negatif, ia mempersiapkan diri agar tidak terpengaruh oleh kemajuan iptek dan globalisasi itu secara negatif.
    Secara teoritis, kita dengan mudah akan melihat bahwa pilihan ke tiga itulah yang terbaik tetapi, secara praktis, kadang-kadang kita akan lebih memilih alternatif ke dua atau pertama.  Barangkali dilemma seperti inilah yang dihadapi oleh para ulama Madura dalam masalah industrialisasi pulau Madura.  Di masa lalu, dilemma ini mungkin juga dihadapi oleh para ulama dalam masalah pendidikan umum yang diperkenalkan Belanda.
    Tampaknya, dalam masalah kemajuan iptek dan globalisasi ini bangsa Indonesia bertekad untuk memilih alternatif ke tiga: kemajuan iptek dirangkul sedang dampak ikutannya yang negatif akan dihadapi dengan meningkatkan ketahanan nasional di bidang ipoleksosbud.  Hal ini tampak dalam pernyataan mereka dalam GBHN 1993-1998:
    "Pembinaan dan pemantapan kepribadian bangsa senantiasa memperhatikan pelestarian nilai luhur budaya bangsa yang bersumber pada kebhinekaan budaya daerah dengan tidak menutup diri terhadap masuknya nilai positif budaya bangsa lain untuk mewujudkan dan mengembangkan kemampuan dan jati diri serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.  Pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyelenggaraan pembangunan harus meningkatkan kecerdasan dan nilai tambah ... dengan mengindahkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta kondisi lingkungan dan kondisi masyarakat." (Bab II, G. 3.)

    Menurut pernyataan itu, bangsa Indonesia tidak perlu menutup diri terhadap masuknya nilai-nilai positif budaya bangsa lain guna mengembangkan jati dirinya.  Nilai-nilai agama, budaya bangsa, kondisi lingkungan dan masyarakat Indonesia dipakai sebagai pagar atau rambu-rambu bagi penerapan iptek di Indonesia hingga tak berdampak negatif pada masyarakat dan bangsa.

Peranan Agama dalam Pengembangan Iptek Nasional
    Dalam membahas peranan agama dalam pengembangan iptek nasional ini, saya tidak akan berbicara secara teoritik umum.  Mengingat iptek yang kita bicarakan adalah iptek dalam konteks nasional, maka peranan yang dimainkan oleh agama dalam hal ini pun berada dalam konteks nasional pula.  Dengan demikian, pertanyaan yang ingin saya jawab dalam bagian ini adalah: Bagaimanakah peran yang diharapkan oleh bangsa Indonaesia dari agama dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional?
    Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (a) berseberangan atau bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (c) tidak bertentangan satu sama lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
    Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak.  Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya.  Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan.  Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia.  Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei.  Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan.  Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
    Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama.  Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan.  Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
    Pola ke tiga adalah pola hubungan netral.  Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi.  Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali.  Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler.  Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan.  Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.
    Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif.  Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler.  Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung  pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya.  
    Dalam wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan mendukung pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan mendorong orang untuk mendalami ajaran agama.  Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun tidak  sebaliknya terjadi.  Pada wujud ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih mendalami dan menghayati ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran agama akan mendorong orang untuk mengembangkan iptek.
    Pertanyaan selanjutnya adalah "pola hubungan yang manakah yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia terjadi di negara kita ini?"  Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita perlu melihat kembali GBHN sebagai cermin keinginan bangsa Indonesia tentang apa yang mereka harapkan terjadi di Indonesia dalam masa 5 atau 25 tahun mendatang.
    Kalau kita simak pernyataan eksplisit GBHN 1993-1998 tentang kaitan pengembangan iptek dan agama, akan kita lihat bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah pola hubungan ke tiga, pola hubungan netral.  Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu sama lain tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.  Artinya, pengembangan iptek tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.  Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus mendukung.  Kesan hubungan netral antara agama dan iptek ini juga muncul kalau kita membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Tak ada satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana kaitan agama dengan iptek.  Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan pengembangan iptek.
    Akan tetapi, kalau kita baca GBHN itu secara implisit dalam kaitan antara pembangunan bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan memperoleh kesan yang berbeda.  Salah satu asas pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berarti
    "... bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila" (Bab II, C. 1.)

Di bagian lain dinyatakan bahwa  pembangunan bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan, antara lain, untuk memperkuat landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional.
    Dari sini dapat disimpulkan bahwa, secara implisit, bangsa Indonesia menghendaki agar agama dapat berperan sebagai jiwa, penggerak, dan pengendali ataupun sebagai landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan bidang iptek tentunya.  Dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional, agama diharapkan dapat menjiwai, menggerakkan, dan mengendalikan pengembangan iptek nasional tersebut.

Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini
    Pertanyaan berikutnya adalah "apakah peranan agama terhadap pengembangan iptek seperti yang diharapkan itu telah terjadi?"  Dari pengamatan selama ini, saya rasa peranan seperti itu belum terjadi.  Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak saling mengganggu.  Pengembangan iptek dan pengembangan kehidupan beragama diusahakan agar tidak saling tabrak pagar masing-masing.  Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu pengembangan kehidupan beragama.  Konflik yang timbul antara keduanya diselesaikan dengan kebijaksanaan.
    Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu ada polemik di surat kabar tentang tayangan televisi swasta yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama (misalnya, penonjolan aurat wanita, cerita perselingkuhan, dsb.).  Fihak yang berkeberatan mengatakan bahwa hal itu dapat merusak mental masyarakat.  Tetapi, fihak yang tidak berkeberaan dengan acara seperti itu mengatakan bahwa 'kalau anda tidak senang dengan acara itu, matikan saja televisinya.'  Perusahaan  televisi swasta adalah perusahaan yang harus memikirkan keuntungan dan ia akan berusaha menayangkan film yang digemari masyarakat.  Kalau masyarakatnya senang film sex dan sadis, maka film itu pulalah yang akan memperoleh rating tinggi dan diminati oleh pemasang iklan.  Ini adalah pemikiran yang sekuler, yang memisahkan urusan dagang dari agama.  Tugas pengusaha adalah mencari untung sebanyak-banyaknya, sedang mendidik kehidupan beragama masyarakat adalah tugas guru agama dan ulama.  Kasarnya, tugas setan memang menggoda manusia sedang mengingatkan manusia adalah tugas nabi.
    Polemik ini diselesaikan dengan penerapan sensor intern dari perusahaan televisi swasta.  Kini adegan ciuman bibir antara lelaki perempuan, yang biasa kita lihat di bioskop, tidak akan kita temukan di televisi.  Film "Basic Instinct" yang ditayangkan di televisi beberapa waktu yang lalu telah dipotong sedemikian rupa sehingga steril dari adegan sex yang panas.
    Ada pula konflik antara ajaran agama dan ajaran ilmu pengetahuan yang diselesaikan dengan cara menganggapnya "tidak ada atau sudah selesai" padahal ada dan belum diselesaikan.  Sebagai contoh adalah teori tentang asal usul manusia yang diajarkan di sekolah.  Guru biologi mengajarkan bahwa menurut sejarahnya, manusia itu berasa dari suatu jenis tertentu yang kemudian pecah menjadi dua cabang: yang satu mengikuti garis pongid yang akhirnya menjadi kera modern, yang lain mengikuti garis manusia yang berkembang mulai dari manusia kera purba sampai ke manusia modern.  Guru agama Islam mengajarkan bahwa, berdasarkan dalil-dalil naqli, manusia itu diciptakan oleh Allah s.w.t. dalam bentuknya seperti sekarang. (Lihat buku teks Biologi SMU untuk kelas tiga dan bandingkan dengan buku teks Pendidikan Agama Islam di SMU).
    Ini adalah pertentangan teori yang klasik, antara teori evolusi dan teori ciptaan, yang pernah melanda Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu.  Di dunia ilmu pengetahuan, konflik itu tetap berlangsung sampai sekarang walaupun kelompok pendukung teori ciptaan ini jumlahnya makin sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang mempercayai teori evolusi.  Di bidang ilmu, konflik antara teori yang satu dengan yang lain adalah wajar dan merupakan rahmat (Konflik semacam inilah yang menimbulkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan dan menghasilkan teori-teori baru.  Akan tetapi, jika konflik semacam ini diajarkan di sekolah tanpa diselesaikan, maka kebingungan lah yang akan menjadi akibatnya.  Di Amerika, konflik ini diselesaikan dengan melarang diajarkannya teori ciptaan di seluruh sekolah negeri.
    Di Indonesia, konflik di sekolah ini tidak diselesaikan dan dianggap tidak ada.  Pelajaran Biologi hanya mengajarkan teori evolusi dalam bidang biologi dan pura-pura tidak tahu bahwa ajaran agama Islam, Kristen, dan Katolik menganut faham creationism (manusia diciptakan).  Sebaliknya, Pendidikan Agama Islam mengajarkan teori ciptaan dan menyalahkan teori evolusi tanpa menjelaskan dimana letak kesalahan teori evolusi itu (padahal, sampai saat ini, teori evolusi ini masih menjadi tulang punggung ilmu hayat (biologi).  Secara teoritis, keadaan seperti ini akan menghasilkan lulusan SMA yang bingung di bidang asal usul manusia (barangkali gurunya pun bingung!).

Penutup
    Sebagai penutup dapat kitas simpulkan bahwa dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional jangka panjang ke dua di Indonesia ini.  Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan nasional.  Namun, bangsa Indonesia juga menyadari bahwa pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia.  Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat Indonesia.  Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa.
    Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara eksplisit adalal pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama.  Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama).  Saat ini baru sebagian kecil saja ummat yang menguasai hal itu dan yang sedikit itu masih belum sempat menulis buku teks yang memadukan kedua hal (agama dan iptek) itu.  Dari uraian di atas, ternyata kita baru pada langkah awal dan masih jauh jalan yang harus kita tempuh.

Oleh:
Arief Furchan

Pendahuluan
    Peluncuran dan terbang perdana pesawat N-250 yang diberi nama Gatotkaca pada tanggal 10 Agustus 1995 merupakan tonggak penting dalam sejarah bangsa Indonesia.  Pesawat ini adalah pesawat terbang pertama yang dibuat oleh putra-putri Indonesia, mulai dari rancang bangun sampai ke perakitannya.  Kebanggaan akan prestasi itulah yang membuat pemerintah, melalui Keputusan Presiden RI no. 71 tahun 1995, menetapkan tanggal 10 Agustus sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.  Keinginan untuk berpartisipasi dalam pengembangan iptek nasional inilah, barangkali, yang melatar-belakangi diselenggarakannya seminar oleh IAIN Sunan Ampel pada hari ini.

    Judul yang diberikan panitia kepada saya, yang juga menjadi tema Seminar ini, memberi kesan bahwa, dalam hubungan dua variabel ini (agama dan iptek nasional), iptek nasional menjadi fokus utama dan agama sebagai penunjangnya.  Mungkin di antara peserta Seminar ini ada yang tidak setuju dengan penempatan posisi seperti itu dan menginginkan agar agama ditempatkan pada posisi fokus dalam kaitannya dengan iptek.  Keinginan semacam itu adalah wajar dan sah, namun mengingat seminar ini dikaitkan dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang pertama, maka wajarlah kalau pada seminar kali ini yang menjadi fokus perhatian adalah masalah ipteknya.  Mengapa iptek itu dikaitkan dengan agama?  Barangkali, hal itu karena yang menyelenggarakan seminar ini adalah IAIN, yang bidang garapannya adalah agama.
    Untuk membahas topik ini, saya ingin mengajak peserta seminar ini untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:
  1)    Bagaimanakah posisi iptek dalam pembangunan nasional?
  2)    Apa dampak iptek dan globalisasi pada pembangunan bangsa?
  3)    Bagaimana sikap kita terhadap globalisasi itu?
  4)    Bagaimana peranan agama yang diharapkan dalam pembangunan iptek nasional?
  5)    Apakah harapan itu telah terwujud?

Posisi Iptek dalam Pembangunan Nasional
    Memasuki Pembangunan Jangka Panjang ke II, bangsa Indonesia makin menyadari akan pentingnya peran iptek bagi keberhasilan program pembangunan bangsanya.  Hal ini tampak nyata dengan dimasukkannya iptek sebagai salah satu asas pembangunan pada GBHN 1993-19982.  Sepuluh tahun sebelumnya, iptek belum dimasukkan sebagai asas pembangunan walau bukan berarti tidak penting.  Secara umum GBHN 1993-1998 itu juga mengakui bahwa selama PJP I, "pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil memajukan tingkat kecerdasan masyarakat, mengembangkan kemampuan bangsa serta ikut mendorong proses pembaharuan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. ..." (Bab III, A. 8.).
    Iptek juga telah menjadi salah satu bidang pembangunan dalam PJP II ini yang sasarannya adalah "tercapainya kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa yang diperlukan untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera ..." (Bab III, E. 4.).
    Dalam arah PJP II, juga disebutkan bahwa
    "pembangunan iptek memegang peranan penting serta akan sangat mempengaruhi perkembangan dalam masa PJP II.  Penguasaan iptek akan mempengaruhi keberhasilan membangun masyarakat maju dan mandiri.  Pembangunan iptek diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaannya dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. ..." (Bab III, F. 15.).

    Kutipan-kutipan dari GBHN di atas menunjukkan bagaimana posisi pembangunan iptek dalam kerangka Pembangunan Nasional Tahap II.  Dapat disimpulkan bahwa pada PJP II, ini bangsa Indonesia makin menyadari betapa pentingnya iptek itu bagi pembangunan nasional.  Bahkan dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan nasional akan dipengaruhi oleh penguasaan bangsa ini atas iptek itu.  Kalau kita dapat menguasai iptek dengan baik, maka akan makin berhasillah pembangunan kita sedangkan kalau penguasaan iptek kita rendah, maka pembangunan nasional kita pun akan kurang berhasil.
   Dalam kebijakan PELITA VI, dinyatakan bahwa iptek diperlukan di hampir semua sektor pembangunan: industri, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, transportasi, dan bioteknologi (Bab IV, F.)

Dampak Iptek dan Globalisasi pada Pembangunan Bangsa
    Seperti juga pada bidang lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai dampak positif dan negatif.   Penilaian positif maupun negatif ini, tentu saja, bersifat subyektif, tergantung kepada siapa yang menilainya.  Yang dinilai negatif oleh bangsa Indonesia belum tentu juga dinilai negatif oleh bangsa Amerika, misalnya.
    Dampak positif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dirasakan, misalnya, dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi.  Ditemukannya teknologi pesawat terbang telah membuat manusia dapat pergi ke seluruh dunia dalam waktu singkat.  Perjalanan haji yang dulu dilakukan selama beberapa minggu melalui laut kini, dengan makin lancarnya transportasi udara, dapat dilakukan hanya dalam waktu delapan jam saja.  Kemajuan di bidang televisi satelit telah memungkinkan kita melihat Olimpiade Atlanta langsung tanpa harus keluar rumah.  Penemuan telepon genggam telah memungkinkan kita untuk menghubungi seseorang di mana saja ia berada atau dari mana saja kita berada.  Kemajuan di bidang penyimpanan data telah memungkinkan kita memiliki seluruh jilid Ensiklopedia Britanica dalam satu keping Compact Disk yang beratnya kurang dari satu ons.  Kemajuan di bidang komputer telah menciptakan jaringan internet yang memungkinkan kita mendapatkan informasi dari perpustakaan di seluruh dunia tanpa harus keluar dari kamar.  Kemajuan di bidang komunikasi juga telah membuat perdagangan internasional menjadi semakin mudah dan cepat. Sekarang ini, lewat bursa saham, orang dapat dengan mudah memiliki perusahaan di negara lain.
    Singkat kata, kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi ini telah membuat dunia terasa kecil dan batas antar negara menjadi hilang.  Inilah yang disebut sebagai globalisasi, suatu proses di mana orang tidak lagi berfikir hanya sebagai warga kampung, kota, atau negara, melainkan juga sebagai warga dunia.
    Dari sisi positifnya, proses ini membuat orang tidak lagi hanya berwawasan lokal.  Dalam usahanya memecahkan persoalan, ia akan melihat ke seluruh dunia guna menemukan solusi.  Dalam mencari pekerjaan atau ilmu pun, ia tidak lagi membatasi diri pada pekerjaan atau lembaga pendidikan di kampungnya, kotanya, propinsinya, atau negaranya saja. Seluruh permukaan bumi ini dapat menjadi kemungkinan tempat ia bekerja atau mencari ilmu.
    Dari sudut jati diri bangsa, proses ini dapat dianggap membawa dampak negatif.  Hal ini karena inovasi-inovasi di bidang iptek itu kebanyakan terjadi di negara lain yang mempunyai nilai-nilai sosial, politik, dan budaya yang belum tentu sama dengan nilai bangsa kita.  Kendati teknologinya itu sendiri dapat dianggap sebagai netral atau bebas nilai, penerapan dan pembawa ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak dapat dikatakan selalu bebas nilai.  Sebagai contoh, kemajuan teknologi parabola telah memungkinkan kita melihat siaran televisi Perancis tanpa ada sensor.  Adegan seks dan pamer dada wanita, yang di RCTI tidak mungkin keluar, dapat dilihat anak-anak kita tanpa terpotong gunting sensor lewat parabola itu.  Banjirnya film asing di TV nasional (yang terpaksa diputar karena produksi nasional belum ada dan harganya lebih murah daripada memproduksi sendiri) juga dapat mempengaruhi nilai budaya para pemirsanya.  Telenovela dan film Barat yang amat populer di TV swasta kita, secara tidak terasa, dapat mempengaruhi para pemirsanya bahwa perselingkuhan dalam kehidupan suami istri itu adalah hal yang biasa, bahwa kekerasan merupakan salah satu pemecahan masalah.  Film detektif bahkan dapat menjadi 'guru' bagi para maling.
    Globalisasi cara berfikir, yang menjadi salah satu dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dapat membuat orang tidak lagi mengacu pada nilai-nilai tradisional bangsanya belaka.  Kemudahan memperoleh informasi akan membuat ia dapat mempelajari nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan bangsa lain, baik yang menyangkut nilai sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.  Sebagai bangsa yang sedang membangun jati-dirinya, proses globalisasi ini jelas merupakan tantangan yang harus diatasi dalam upaya pembentukan manusia Indonesia yang dicita-citakan.
    Hal ini tampaknya juga disadari oleh para wakil rakyat yang menyusun GBHN 1993-1998.  Mengenai dampak negatif globalisasi bagi pembangunan nasional kita, GBHN menyatakan:
    "Perkembangan, perubahan, dan gejolak internasional pada akhir Pembangunan Jangka Panjang Pertama ditandai oleh gejala baru, yaitu globalisasi yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan nasional di masa yang akan datang. ... Tantangan di bidang ekonomi ... adalah munculnya pengelompokan antar-negara yang cenderung meningkatkan proteksionisme dan diskriminasi pasar yang dapat menghambat pemasaran hasil produksi dalam negeri dan mendorong persaingan yang tidak sehat.  Ancaman di bidang politik dan pertahanan keamanan adalah kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap ideologi Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional, khususnya persatuan dan kesatuan bangsa yang dapat mengganggu kelancaran jalannya pembangunan nasional.  Ancaman di bidang sosial budaya adalah masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai lujur budaya bangsa." (Bab IV, A. 2.)

Sikap terhadap Globalisasi
    Pada dasarnya sikap orang terhadap masalah globalisasi ini dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) lari dari kenyataan dan bersembunyi atau menutup diri dari arus globalisasi itu; (2) menghindar atau menganggap bahwa globalisasi itu tidak ada; (3) menghadapi persoalan dengan berani.  Pilihan pertama dilakukan apabila orang tersebut merasa lemah dan tidak kuat untuk menanggulangi dampak negatif globalisasi itu.  Dalam mempertimbangkan dampak positif dan negatif kemajuan iptek dan globalisasi, ia melihat bahwa 'mudharat' globalisasi tersebut lebih besar daripada 'manfaatnya'.  Akibatnya, ia menolak kehadiran kemajuan iptek tersebut dan tidak mau bersentuhan dengannya.  Dalam kasus bangsa, pemerintah menutup masuknya informasi dari luar tanpa pandang bulu karena takut kalau-kalau rakyatnya akan terpengaruh oleh nilai-nilai dari luar yang mungkin akan berdampak negatif.
    Pilihan ke dua dilakukan bila orang tersebut merasa bingung.  Di satu fihak, ia mengetahui dampak positifnya kemajuan teknologi komunikasi itu tetapi, di lain fihak, ia juga mengetahui dampak negatif dari globalisasi tersebut.  Ia tidak dapat memutuskan apakah akan merangkul ataukah menolak kemajuan teknologi yang berdampak globalisasi itu.  Akibatnya, ia membiarkan saja kemajuan teknologi itu melanda bangsanya dan berpura-pura yakin, atau berharap, bahwa globalisasi itu tidak membawa dampak negatif bagi masyarakatnya.
    Pilihan ke tiga dilakukan oleh orang yang tidak bingung.  Ia menyadari akan dampak positif dan negatif dari kemajuan iptek yang masuk ke negaranya, termasuk dampak globalisasi masyarakatnya.  Berbeda dengan pemilih skenario ke dua, ia dengan seksama memilah-milah mana dampak positif dari kemajuan iptek dan globalisasi itu bagi dirinya dan mana dampak negatifnya.  Dengan mengetahui di bidang mana kemajuan iptek dan globalisasi itu akan membawa dampak negatif, ia mempersiapkan diri agar tidak terpengaruh oleh kemajuan iptek dan globalisasi itu secara negatif.
    Secara teoritis, kita dengan mudah akan melihat bahwa pilihan ke tiga itulah yang terbaik tetapi, secara praktis, kadang-kadang kita akan lebih memilih alternatif ke dua atau pertama.  Barangkali dilemma seperti inilah yang dihadapi oleh para ulama Madura dalam masalah industrialisasi pulau Madura.  Di masa lalu, dilemma ini mungkin juga dihadapi oleh para ulama dalam masalah pendidikan umum yang diperkenalkan Belanda.
    Tampaknya, dalam masalah kemajuan iptek dan globalisasi ini bangsa Indonesia bertekad untuk memilih alternatif ke tiga: kemajuan iptek dirangkul sedang dampak ikutannya yang negatif akan dihadapi dengan meningkatkan ketahanan nasional di bidang ipoleksosbud.  Hal ini tampak dalam pernyataan mereka dalam GBHN 1993-1998:
    "Pembinaan dan pemantapan kepribadian bangsa senantiasa memperhatikan pelestarian nilai luhur budaya bangsa yang bersumber pada kebhinekaan budaya daerah dengan tidak menutup diri terhadap masuknya nilai positif budaya bangsa lain untuk mewujudkan dan mengembangkan kemampuan dan jati diri serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.  Pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyelenggaraan pembangunan harus meningkatkan kecerdasan dan nilai tambah ... dengan mengindahkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta kondisi lingkungan dan kondisi masyarakat." (Bab II, G. 3.)

    Menurut pernyataan itu, bangsa Indonesia tidak perlu menutup diri terhadap masuknya nilai-nilai positif budaya bangsa lain guna mengembangkan jati dirinya.  Nilai-nilai agama, budaya bangsa, kondisi lingkungan dan masyarakat Indonesia dipakai sebagai pagar atau rambu-rambu bagi penerapan iptek di Indonesia hingga tak berdampak negatif pada masyarakat dan bangsa.

Peranan Agama dalam Pengembangan Iptek Nasional
    Dalam membahas peranan agama dalam pengembangan iptek nasional ini, saya tidak akan berbicara secara teoritik umum.  Mengingat iptek yang kita bicarakan adalah iptek dalam konteks nasional, maka peranan yang dimainkan oleh agama dalam hal ini pun berada dalam konteks nasional pula.  Dengan demikian, pertanyaan yang ingin saya jawab dalam bagian ini adalah: Bagaimanakah peran yang diharapkan oleh bangsa Indonaesia dari agama dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional?
    Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (a) berseberangan atau bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (c) tidak bertentangan satu sama lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
    Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak.  Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya.  Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan.  Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia.  Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei.  Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan.  Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
    Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama.  Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan.  Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
    Pola ke tiga adalah pola hubungan netral.  Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi.  Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali.  Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler.  Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan.  Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.
    Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif.  Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler.  Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung  pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya.  
    Dalam wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan mendukung pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan mendorong orang untuk mendalami ajaran agama.  Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun tidak  sebaliknya terjadi.  Pada wujud ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih mendalami dan menghayati ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran agama akan mendorong orang untuk mengembangkan iptek.
    Pertanyaan selanjutnya adalah "pola hubungan yang manakah yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia terjadi di negara kita ini?"  Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita perlu melihat kembali GBHN sebagai cermin keinginan bangsa Indonesia tentang apa yang mereka harapkan terjadi di Indonesia dalam masa 5 atau 25 tahun mendatang.
    Kalau kita simak pernyataan eksplisit GBHN 1993-1998 tentang kaitan pengembangan iptek dan agama, akan kita lihat bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah pola hubungan ke tiga, pola hubungan netral.  Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu sama lain tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.  Artinya, pengembangan iptek tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.  Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus mendukung.  Kesan hubungan netral antara agama dan iptek ini juga muncul kalau kita membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Tak ada satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana kaitan agama dengan iptek.  Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan pengembangan iptek.
    Akan tetapi, kalau kita baca GBHN itu secara implisit dalam kaitan antara pembangunan bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan memperoleh kesan yang berbeda.  Salah satu asas pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berarti
    "... bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila" (Bab II, C. 1.)

Di bagian lain dinyatakan bahwa  pembangunan bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan, antara lain, untuk memperkuat landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional.
    Dari sini dapat disimpulkan bahwa, secara implisit, bangsa Indonesia menghendaki agar agama dapat berperan sebagai jiwa, penggerak, dan pengendali ataupun sebagai landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan bidang iptek tentunya.  Dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional, agama diharapkan dapat menjiwai, menggerakkan, dan mengendalikan pengembangan iptek nasional tersebut.

Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini
    Pertanyaan berikutnya adalah "apakah peranan agama terhadap pengembangan iptek seperti yang diharapkan itu telah terjadi?"  Dari pengamatan selama ini, saya rasa peranan seperti itu belum terjadi.  Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak saling mengganggu.  Pengembangan iptek dan pengembangan kehidupan beragama diusahakan agar tidak saling tabrak pagar masing-masing.  Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu pengembangan kehidupan beragama.  Konflik yang timbul antara keduanya diselesaikan dengan kebijaksanaan.
    Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu ada polemik di surat kabar tentang tayangan televisi swasta yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama (misalnya, penonjolan aurat wanita, cerita perselingkuhan, dsb.).  Fihak yang berkeberatan mengatakan bahwa hal itu dapat merusak mental masyarakat.  Tetapi, fihak yang tidak berkeberaan dengan acara seperti itu mengatakan bahwa 'kalau anda tidak senang dengan acara itu, matikan saja televisinya.'  Perusahaan  televisi swasta adalah perusahaan yang harus memikirkan keuntungan dan ia akan berusaha menayangkan film yang digemari masyarakat.  Kalau masyarakatnya senang film sex dan sadis, maka film itu pulalah yang akan memperoleh rating tinggi dan diminati oleh pemasang iklan.  Ini adalah pemikiran yang sekuler, yang memisahkan urusan dagang dari agama.  Tugas pengusaha adalah mencari untung sebanyak-banyaknya, sedang mendidik kehidupan beragama masyarakat adalah tugas guru agama dan ulama.  Kasarnya, tugas setan memang menggoda manusia sedang mengingatkan manusia adalah tugas nabi.
    Polemik ini diselesaikan dengan penerapan sensor intern dari perusahaan televisi swasta.  Kini adegan ciuman bibir antara lelaki perempuan, yang biasa kita lihat di bioskop, tidak akan kita temukan di televisi.  Film "Basic Instinct" yang ditayangkan di televisi beberapa waktu yang lalu telah dipotong sedemikian rupa sehingga steril dari adegan sex yang panas.
    Ada pula konflik antara ajaran agama dan ajaran ilmu pengetahuan yang diselesaikan dengan cara menganggapnya "tidak ada atau sudah selesai" padahal ada dan belum diselesaikan.  Sebagai contoh adalah teori tentang asal usul manusia yang diajarkan di sekolah.  Guru biologi mengajarkan bahwa menurut sejarahnya, manusia itu berasa dari suatu jenis tertentu yang kemudian pecah menjadi dua cabang: yang satu mengikuti garis pongid yang akhirnya menjadi kera modern, yang lain mengikuti garis manusia yang berkembang mulai dari manusia kera purba sampai ke manusia modern.  Guru agama Islam mengajarkan bahwa, berdasarkan dalil-dalil naqli, manusia itu diciptakan oleh Allah s.w.t. dalam bentuknya seperti sekarang. (Lihat buku teks Biologi SMU untuk kelas tiga dan bandingkan dengan buku teks Pendidikan Agama Islam di SMU).
    Ini adalah pertentangan teori yang klasik, antara teori evolusi dan teori ciptaan, yang pernah melanda Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu.  Di dunia ilmu pengetahuan, konflik itu tetap berlangsung sampai sekarang walaupun kelompok pendukung teori ciptaan ini jumlahnya makin sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang mempercayai teori evolusi.  Di bidang ilmu, konflik antara teori yang satu dengan yang lain adalah wajar dan merupakan rahmat (Konflik semacam inilah yang menimbulkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan dan menghasilkan teori-teori baru.  Akan tetapi, jika konflik semacam ini diajarkan di sekolah tanpa diselesaikan, maka kebingungan lah yang akan menjadi akibatnya.  Di Amerika, konflik ini diselesaikan dengan melarang diajarkannya teori ciptaan di seluruh sekolah negeri.
    Di Indonesia, konflik di sekolah ini tidak diselesaikan dan dianggap tidak ada.  Pelajaran Biologi hanya mengajarkan teori evolusi dalam bidang biologi dan pura-pura tidak tahu bahwa ajaran agama Islam, Kristen, dan Katolik menganut faham creationism (manusia diciptakan).  Sebaliknya, Pendidikan Agama Islam mengajarkan teori ciptaan dan menyalahkan teori evolusi tanpa menjelaskan dimana letak kesalahan teori evolusi itu (padahal, sampai saat ini, teori evolusi ini masih menjadi tulang punggung ilmu hayat (biologi).  Secara teoritis, keadaan seperti ini akan menghasilkan lulusan SMA yang bingung di bidang asal usul manusia (barangkali gurunya pun bingung!).

Penutup
    Sebagai penutup dapat kitas simpulkan bahwa dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional jangka panjang ke dua di Indonesia ini.  Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan nasional.  Namun, bangsa Indonesia juga menyadari bahwa pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia.  Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat Indonesia.  Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa.
    Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara eksplisit adalal pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama.  Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama).  Saat ini baru sebagian kecil saja ummat yang menguasai hal itu dan yang sedikit itu masih belum sempat menulis buku teks yang memadukan kedua hal (agama dan iptek) itu.  Dari uraian di atas, ternyata kita baru pada langkah awal dan masih jauh jalan yang harus kita tempuh.

;;


Shout Box

Followers

Page Views

 

My Blog List

Twitter

Designed by Miss Rinda | Inspirated by Cebong Ipiet | Image by DragonArtz | Author by YOUR NAME :)