Oleh:
Arief Furchan
Pendahuluan
Peluncuran dan terbang perdana pesawat N-250 yang diberi nama Gatotkaca
pada tanggal 10 Agustus 1995 merupakan tonggak penting dalam sejarah bangsa
Indonesia. Pesawat ini adalah pesawat terbang pertama yang dibuat oleh
putra-putri Indonesia, mulai dari rancang bangun sampai ke perakitannya.
Kebanggaan akan prestasi itulah yang membuat pemerintah, melalui Keputusan
Presiden RI no. 71 tahun 1995, menetapkan tanggal 10 Agustus sebagai Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional. Keinginan untuk berpartisipasi dalam
pengembangan iptek nasional inilah, barangkali, yang melatar-belakangi
diselenggarakannya seminar oleh IAIN Sunan Ampel pada hari ini.
Judul
yang diberikan panitia kepada saya, yang juga menjadi tema Seminar ini, memberi
kesan bahwa, dalam hubungan dua variabel ini (agama dan iptek nasional), iptek
nasional menjadi fokus utama dan agama sebagai penunjangnya. Mungkin di
antara peserta Seminar ini ada yang tidak setuju dengan penempatan posisi
seperti itu dan menginginkan agar agama ditempatkan pada posisi fokus dalam
kaitannya dengan iptek. Keinginan semacam itu adalah wajar dan sah, namun
mengingat seminar ini dikaitkan dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi
Nasional yang pertama, maka wajarlah kalau pada seminar kali ini yang menjadi
fokus perhatian adalah masalah ipteknya. Mengapa iptek itu dikaitkan dengan
agama? Barangkali, hal itu karena yang menyelenggarakan seminar ini
adalah IAIN, yang bidang garapannya adalah agama.
Untuk
membahas topik ini, saya ingin mengajak peserta seminar ini untuk menjawab
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimanakah posisi iptek dalam pembangunan
nasional?
2) Apa dampak iptek dan globalisasi pada pembangunan
bangsa?
3) Bagaimana sikap kita terhadap globalisasi itu?
4) Bagaimana peranan agama yang diharapkan dalam
pembangunan iptek nasional?
5) Apakah harapan itu telah terwujud?
Posisi Iptek dalam Pembangunan Nasional
Memasuki Pembangunan Jangka Panjang ke II, bangsa Indonesia makin
menyadari akan pentingnya peran iptek bagi keberhasilan program pembangunan
bangsanya. Hal ini tampak nyata dengan dimasukkannya iptek sebagai salah
satu asas pembangunan pada GBHN 1993-19982. Sepuluh tahun sebelumnya,
iptek belum dimasukkan sebagai asas pembangunan walau bukan berarti tidak
penting. Secara umum GBHN 1993-1998 itu juga mengakui bahwa selama PJP I,
"pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil memajukan
tingkat kecerdasan masyarakat, mengembangkan kemampuan bangsa serta ikut
mendorong proses pembaharuan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
..." (Bab III, A. 8.).
Iptek
juga telah menjadi salah satu bidang pembangunan dalam PJP II ini yang
sasarannya adalah "tercapainya kemampuan nasional dalam pemanfaatan,
pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan bagi
peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing
bangsa yang diperlukan untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta
sejahtera ..." (Bab III, E. 4.).
Dalam
arah PJP II, juga disebutkan bahwa
"pembangunan iptek memegang peranan penting serta akan sangat
mempengaruhi perkembangan dalam masa PJP II. Penguasaan iptek akan
mempengaruhi keberhasilan membangun masyarakat maju dan mandiri.
Pembangunan iptek diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaannya
dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat
proses pembaharuan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas
lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta
meningkatkan kesejahteraan rakyat. ..." (Bab III, F. 15.).
Kutipan-kutipan dari GBHN di atas menunjukkan bagaimana
posisi pembangunan iptek dalam kerangka Pembangunan Nasional Tahap II.
Dapat disimpulkan bahwa pada PJP II, ini bangsa Indonesia makin menyadari
betapa pentingnya iptek itu bagi pembangunan nasional. Bahkan dikatakan
bahwa keberhasilan pembangunan nasional akan dipengaruhi oleh penguasaan bangsa
ini atas iptek itu. Kalau kita dapat menguasai iptek dengan baik, maka
akan makin berhasillah pembangunan kita sedangkan kalau penguasaan iptek kita
rendah, maka pembangunan nasional kita pun akan kurang berhasil.
Dalam
kebijakan PELITA VI, dinyatakan bahwa iptek diperlukan di hampir semua sektor
pembangunan: industri, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan,
transportasi, dan bioteknologi (Bab IV, F.)
Dampak Iptek dan Globalisasi pada Pembangunan Bangsa
Seperti juga pada bidang lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
mempunyai dampak positif dan negatif. Penilaian positif maupun
negatif ini, tentu saja, bersifat subyektif, tergantung kepada siapa yang
menilainya. Yang dinilai negatif oleh bangsa Indonesia belum tentu juga
dinilai negatif oleh bangsa Amerika, misalnya.
Dampak positif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dirasakan,
misalnya, dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi. Ditemukannya
teknologi pesawat terbang telah membuat manusia dapat pergi ke seluruh dunia
dalam waktu singkat. Perjalanan haji yang dulu dilakukan selama beberapa
minggu melalui laut kini, dengan makin lancarnya transportasi udara, dapat
dilakukan hanya dalam waktu delapan jam saja. Kemajuan di bidang televisi
satelit telah memungkinkan kita melihat Olimpiade Atlanta langsung tanpa harus
keluar rumah. Penemuan telepon genggam telah memungkinkan kita untuk
menghubungi seseorang di mana saja ia berada atau dari mana saja kita
berada. Kemajuan di bidang penyimpanan data telah memungkinkan kita
memiliki seluruh jilid Ensiklopedia Britanica dalam satu keping Compact Disk yang
beratnya kurang dari satu ons. Kemajuan di bidang komputer telah
menciptakan jaringan internet yang memungkinkan kita mendapatkan informasi dari
perpustakaan di seluruh dunia tanpa harus keluar dari kamar. Kemajuan di
bidang komunikasi juga telah membuat perdagangan internasional menjadi semakin
mudah dan cepat. Sekarang ini, lewat bursa saham, orang dapat dengan mudah
memiliki perusahaan di negara lain.
Singkat kata, kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi ini
telah membuat dunia terasa kecil dan batas antar negara menjadi hilang.
Inilah yang disebut sebagai globalisasi, suatu proses di mana orang tidak lagi
berfikir hanya sebagai warga kampung, kota, atau negara, melainkan juga sebagai
warga dunia.
Dari
sisi positifnya, proses ini membuat orang tidak lagi hanya berwawasan
lokal. Dalam usahanya memecahkan persoalan, ia akan melihat ke seluruh
dunia guna menemukan solusi. Dalam mencari pekerjaan atau ilmu pun, ia
tidak lagi membatasi diri pada pekerjaan atau lembaga pendidikan di kampungnya,
kotanya, propinsinya, atau negaranya saja. Seluruh permukaan bumi ini dapat
menjadi kemungkinan tempat ia bekerja atau mencari ilmu.
Dari
sudut jati diri bangsa, proses ini dapat dianggap membawa dampak negatif.
Hal ini karena inovasi-inovasi di bidang iptek itu kebanyakan terjadi di negara
lain yang mempunyai nilai-nilai sosial, politik, dan budaya yang belum tentu
sama dengan nilai bangsa kita. Kendati teknologinya itu sendiri dapat
dianggap sebagai netral atau bebas nilai, penerapan dan pembawa ilmu
pengetahuan dan teknologi itu tidak dapat dikatakan selalu bebas nilai.
Sebagai contoh, kemajuan teknologi parabola telah memungkinkan kita melihat
siaran televisi Perancis tanpa ada sensor. Adegan seks dan pamer dada
wanita, yang di RCTI tidak mungkin keluar, dapat dilihat anak-anak kita tanpa
terpotong gunting sensor lewat parabola itu. Banjirnya film asing di TV
nasional (yang terpaksa diputar karena produksi nasional belum ada dan harganya
lebih murah daripada memproduksi sendiri) juga dapat mempengaruhi nilai budaya
para pemirsanya. Telenovela dan film Barat yang amat populer di TV swasta
kita, secara tidak terasa, dapat mempengaruhi para pemirsanya bahwa
perselingkuhan dalam kehidupan suami istri itu adalah hal yang biasa, bahwa kekerasan
merupakan salah satu pemecahan masalah. Film detektif bahkan dapat
menjadi 'guru' bagi para maling.
Globalisasi cara berfikir, yang menjadi salah satu dampak kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi, dapat membuat orang tidak lagi mengacu pada
nilai-nilai tradisional bangsanya belaka. Kemudahan memperoleh informasi
akan membuat ia dapat mempelajari nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan
bangsa lain, baik yang menyangkut nilai sosial, ekonomi, budaya, maupun
politik. Sebagai bangsa yang sedang membangun jati-dirinya, proses
globalisasi ini jelas merupakan tantangan yang harus diatasi dalam upaya
pembentukan manusia Indonesia yang dicita-citakan.
Hal
ini tampaknya juga disadari oleh para wakil rakyat yang menyusun GBHN
1993-1998. Mengenai dampak negatif globalisasi bagi pembangunan nasional
kita, GBHN menyatakan:
"Perkembangan, perubahan, dan gejolak internasional pada akhir
Pembangunan Jangka Panjang Pertama ditandai oleh gejala baru, yaitu globalisasi
yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada
gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan nasional di masa yang
akan datang. ... Tantangan di bidang ekonomi ... adalah munculnya pengelompokan
antar-negara yang cenderung meningkatkan proteksionisme dan diskriminasi pasar
yang dapat menghambat pemasaran hasil produksi dalam negeri dan mendorong persaingan
yang tidak sehat. Ancaman di bidang politik dan pertahanan keamanan
adalah kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap ideologi Pancasila, Wawasan
Nusantara, dan Ketahanan Nasional, khususnya persatuan dan kesatuan bangsa yang
dapat mengganggu kelancaran jalannya pembangunan nasional. Ancaman di
bidang sosial budaya adalah masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan
nilai-nilai lujur budaya bangsa." (Bab IV, A. 2.)
Sikap terhadap Globalisasi
Pada
dasarnya sikap orang terhadap masalah globalisasi ini dapat dikelompokkan
menjadi tiga: (1) lari dari kenyataan dan bersembunyi atau menutup diri dari
arus globalisasi itu; (2) menghindar atau menganggap bahwa globalisasi itu
tidak ada; (3) menghadapi persoalan dengan berani. Pilihan pertama dilakukan
apabila orang tersebut merasa lemah dan tidak kuat untuk menanggulangi dampak
negatif globalisasi itu. Dalam mempertimbangkan dampak positif dan
negatif kemajuan iptek dan globalisasi, ia melihat bahwa 'mudharat' globalisasi
tersebut lebih besar daripada 'manfaatnya'. Akibatnya, ia menolak
kehadiran kemajuan iptek tersebut dan tidak mau bersentuhan dengannya.
Dalam kasus bangsa, pemerintah menutup masuknya informasi dari luar tanpa
pandang bulu karena takut kalau-kalau rakyatnya akan terpengaruh oleh nilai-nilai
dari luar yang mungkin akan berdampak negatif.
Pilihan ke dua dilakukan bila orang tersebut merasa bingung. Di
satu fihak, ia mengetahui dampak positifnya kemajuan teknologi komunikasi itu
tetapi, di lain fihak, ia juga mengetahui dampak negatif dari globalisasi
tersebut. Ia tidak dapat memutuskan apakah akan merangkul ataukah menolak
kemajuan teknologi yang berdampak globalisasi itu. Akibatnya, ia
membiarkan saja kemajuan teknologi itu melanda bangsanya dan berpura-pura
yakin, atau berharap, bahwa globalisasi itu tidak membawa dampak negatif bagi
masyarakatnya.
Pilihan ke tiga dilakukan oleh orang yang tidak bingung. Ia
menyadari akan dampak positif dan negatif dari kemajuan iptek yang masuk ke
negaranya, termasuk dampak globalisasi masyarakatnya. Berbeda dengan
pemilih skenario ke dua, ia dengan seksama memilah-milah mana dampak positif
dari kemajuan iptek dan globalisasi itu bagi dirinya dan mana dampak
negatifnya. Dengan mengetahui di bidang mana kemajuan iptek dan globalisasi
itu akan membawa dampak negatif, ia mempersiapkan diri agar tidak terpengaruh
oleh kemajuan iptek dan globalisasi itu secara negatif.
Secara teoritis, kita dengan mudah akan melihat bahwa pilihan ke tiga
itulah yang terbaik tetapi, secara praktis, kadang-kadang kita akan lebih
memilih alternatif ke dua atau pertama. Barangkali dilemma seperti inilah
yang dihadapi oleh para ulama Madura dalam masalah industrialisasi pulau
Madura. Di masa lalu, dilemma ini mungkin juga dihadapi oleh para ulama
dalam masalah pendidikan umum yang diperkenalkan Belanda.
Tampaknya, dalam masalah kemajuan iptek dan globalisasi ini bangsa
Indonesia bertekad untuk memilih alternatif ke tiga: kemajuan iptek dirangkul
sedang dampak ikutannya yang negatif akan dihadapi dengan meningkatkan
ketahanan nasional di bidang ipoleksosbud. Hal ini tampak dalam
pernyataan mereka dalam GBHN 1993-1998:
"Pembinaan dan pemantapan kepribadian bangsa senantiasa
memperhatikan pelestarian nilai luhur budaya bangsa yang bersumber pada
kebhinekaan budaya daerah dengan tidak menutup diri terhadap masuknya nilai
positif budaya bangsa lain untuk mewujudkan dan mengembangkan kemampuan dan
jati diri serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
penyelenggaraan pembangunan harus meningkatkan kecerdasan dan nilai tambah ...
dengan mengindahkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta
kondisi lingkungan dan kondisi masyarakat." (Bab II, G. 3.)
Menurut pernyataan itu, bangsa Indonesia tidak perlu menutup
diri terhadap masuknya nilai-nilai positif budaya bangsa lain guna
mengembangkan jati dirinya. Nilai-nilai agama, budaya bangsa, kondisi
lingkungan dan masyarakat Indonesia dipakai sebagai pagar atau rambu-rambu bagi
penerapan iptek di Indonesia hingga tak berdampak negatif pada masyarakat dan
bangsa.
Peranan Agama dalam Pengembangan Iptek Nasional
Dalam
membahas peranan agama dalam pengembangan iptek nasional ini, saya tidak akan
berbicara secara teoritik umum. Mengingat iptek yang kita bicarakan
adalah iptek dalam konteks nasional, maka peranan yang dimainkan oleh agama
dalam hal ini pun berada dalam konteks nasional pula. Dengan demikian,
pertanyaan yang ingin saya jawab dalam bagian ini adalah: Bagaimanakah peran
yang diharapkan oleh bangsa Indonaesia dari agama dalam kaitannya dengan
pengembangan iptek nasional?
Ada
beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (a) berseberangan atau
bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (c)
tidak bertentangan satu sama lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama
mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
Pola
hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa
yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini,
pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama
dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu
pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk
menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia.
Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei.
Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja
berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan
dan dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
Pola
hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika
kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat
disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan
satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa
masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama
dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara
agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada
pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek
tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena
keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal,
pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan
seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk
memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
Pola
ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran
ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga
tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan
iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam
masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak
mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak
mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti
ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah
terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama
bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak
karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan. Mungkin secara individu dampak
itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak
menimbulkan dampak apa-apa.
Pola
hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya pola
hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama
dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler.
Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama
mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran
agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak
mendukung pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan
iptek dan demikian pula sebaliknya.
Dalam
wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan mendukung
pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan mendorong orang untuk
mendalami ajaran agama. Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan
iptek akan mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun
tidak sebaliknya terjadi. Pada wujud ke tiga, pengembangan iptek
akan mendorong orang untuk lebih mendalami dan menghayati ajaran agama dan
pendalaman serta penghayatan ajaran agama akan mendorong orang untuk
mengembangkan iptek.
Pertanyaan selanjutnya adalah "pola hubungan yang manakah yang
dikehendaki oleh bangsa Indonesia terjadi di negara kita ini?" Untuk
menjawab pertanyaan di atas, maka kita perlu melihat kembali GBHN sebagai
cermin keinginan bangsa Indonesia tentang apa yang mereka harapkan terjadi di
Indonesia dalam masa 5 atau 25 tahun mendatang.
Kalau
kita simak pernyataan eksplisit GBHN 1993-1998 tentang kaitan pengembangan
iptek dan agama, akan kita lihat bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah
pola hubungan ke tiga, pola hubungan netral. Ajaran agama dan iptek tidak
bertentangan satu sama lain tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G.
3. GBHN 1993-1998, yang telah dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan
iptek hendaknya mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Artinya, pengembangan iptek tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama
dan budaya bangsa. Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus
mendukung. Kesan hubungan netral antara agama dan iptek ini juga muncul
kalau kita membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang
secara eksplisit menjelaskan bagaimana kaitan agama dengan iptek.
Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan pengembangan iptek.
Akan
tetapi, kalau kita baca GBHN itu secara implisit dalam kaitan antara
pembangunan bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan memperoleh kesan yang
berbeda. Salah satu asas pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan
Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berarti
"... bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai,
digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik
dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila" (Bab II,
C. 1.)
Di bagian lain dinyatakan bahwa pembangunan bidang agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan, antara lain, untuk memperkuat landasan
spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa, secara implisit, bangsa Indonesia menghendaki
agar agama dapat berperan sebagai jiwa, penggerak, dan pengendali ataupun
sebagai landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional, termasuk
pembangunan bidang iptek tentunya. Dalam kaitannya dengan pengembangan
iptek nasional, agama diharapkan dapat menjiwai, menggerakkan, dan
mengendalikan pengembangan iptek nasional tersebut.
Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini
Pertanyaan berikutnya adalah "apakah peranan agama terhadap
pengembangan iptek seperti yang diharapkan itu telah terjadi?" Dari
pengamatan selama ini, saya rasa peranan seperti itu belum terjadi. Pola
hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak
saling mengganggu. Pengembangan iptek dan pengembangan kehidupan beragama
diusahakan agar tidak saling tabrak pagar masing-masing. Pengembangan
agama diharapkan tidak menghambat pengembangan iptek sedang pengembangan iptek
diharapkan tidak mengganggu pengembangan kehidupan beragama. Konflik yang
timbul antara keduanya diselesaikan dengan kebijaksanaan.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu ada polemik di surat kabar
tentang tayangan televisi swasta yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai
agama (misalnya, penonjolan aurat wanita, cerita perselingkuhan, dsb.).
Fihak yang berkeberatan mengatakan bahwa hal itu dapat merusak mental
masyarakat. Tetapi, fihak yang tidak berkeberaan dengan acara seperti itu
mengatakan bahwa 'kalau anda tidak senang dengan acara itu, matikan saja
televisinya.' Perusahaan televisi swasta adalah perusahaan yang
harus memikirkan keuntungan dan ia akan berusaha menayangkan film yang digemari
masyarakat. Kalau masyarakatnya senang film sex dan sadis, maka film itu
pulalah yang akan memperoleh rating tinggi dan diminati oleh pemasang
iklan. Ini adalah pemikiran yang sekuler, yang memisahkan urusan dagang
dari agama. Tugas pengusaha adalah mencari untung sebanyak-banyaknya,
sedang mendidik kehidupan beragama masyarakat adalah tugas guru agama dan
ulama. Kasarnya, tugas setan memang menggoda manusia sedang mengingatkan manusia
adalah tugas nabi.
Polemik ini diselesaikan dengan penerapan sensor intern dari perusahaan
televisi swasta. Kini adegan ciuman bibir antara lelaki perempuan, yang
biasa kita lihat di bioskop, tidak akan kita temukan di televisi. Film
"Basic Instinct" yang ditayangkan di televisi beberapa waktu yang
lalu telah dipotong sedemikian rupa sehingga steril dari adegan sex yang panas.
Ada
pula konflik antara ajaran agama dan ajaran ilmu pengetahuan yang diselesaikan
dengan cara menganggapnya "tidak ada atau sudah selesai" padahal ada
dan belum diselesaikan. Sebagai contoh adalah teori tentang asal usul
manusia yang diajarkan di sekolah. Guru biologi mengajarkan bahwa menurut
sejarahnya, manusia itu berasa dari suatu jenis tertentu yang kemudian pecah
menjadi dua cabang: yang satu mengikuti garis pongid yang akhirnya menjadi kera
modern, yang lain mengikuti garis manusia yang berkembang mulai dari manusia
kera purba sampai ke manusia modern. Guru agama Islam mengajarkan bahwa,
berdasarkan dalil-dalil naqli, manusia itu diciptakan oleh Allah s.w.t. dalam
bentuknya seperti sekarang. (Lihat buku teks Biologi SMU untuk kelas tiga dan
bandingkan dengan buku teks Pendidikan Agama Islam di SMU).
Ini
adalah pertentangan teori yang klasik, antara teori evolusi dan teori ciptaan,
yang pernah melanda Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Di dunia
ilmu pengetahuan, konflik itu tetap berlangsung sampai sekarang walaupun
kelompok pendukung teori ciptaan ini jumlahnya makin sedikit jika dibandingkan
dengan mereka yang mempercayai teori evolusi. Di bidang ilmu, konflik
antara teori yang satu dengan yang lain adalah wajar dan merupakan rahmat
(Konflik semacam inilah yang menimbulkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan
dan menghasilkan teori-teori baru. Akan tetapi, jika konflik semacam ini
diajarkan di sekolah tanpa diselesaikan, maka kebingungan lah yang akan menjadi
akibatnya. Di Amerika, konflik ini diselesaikan dengan melarang
diajarkannya teori ciptaan di seluruh sekolah negeri.
Di
Indonesia, konflik di sekolah ini tidak diselesaikan dan dianggap tidak
ada. Pelajaran Biologi hanya mengajarkan teori evolusi dalam bidang
biologi dan pura-pura tidak tahu bahwa ajaran agama Islam, Kristen, dan Katolik
menganut faham creationism (manusia diciptakan). Sebaliknya, Pendidikan
Agama Islam mengajarkan teori ciptaan dan menyalahkan teori evolusi tanpa
menjelaskan dimana letak kesalahan teori evolusi itu (padahal, sampai saat ini,
teori evolusi ini masih menjadi tulang punggung ilmu hayat (biologi).
Secara teoritis, keadaan seperti ini akan menghasilkan lulusan SMA yang bingung
di bidang asal usul manusia (barangkali gurunya pun bingung!).
Penutup
Sebagai penutup dapat kitas simpulkan bahwa dewasa ini iptek menempati
posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional jangka panjang ke dua di
Indonesia ini. Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan keberhasilan
pembangunan nasional. Namun, bangsa Indonesia juga menyadari bahwa
pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat membawa dampak
negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham
sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat
Indonesia. Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di
Indonesia tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur
bangsa.
Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek
secara eksplisit adalal pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu,
secara implisit diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan,
dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Ini merupakan tugas yang tidak
mudah karena, untuk itu, kita harus menguasai prinsip dan pola pikir keduanya
(iptek dan agama). Saat ini baru sebagian kecil saja ummat yang menguasai
hal itu dan yang sedikit itu masih belum sempat menulis buku teks yang
memadukan kedua hal (agama dan iptek) itu. Dari uraian di atas, ternyata
kita baru pada langkah awal dan masih jauh jalan yang harus kita tempuh.